Jumat, 23 November 2012

BARABUNG CITY







Rabu, 17 Juli 2013


     Perjanalanan Menuju Aceh Selatan

Lama sudah tidak bertegur sapa, entah bagaimanalah kabar nya para sahabat semua? Jauh dari ujung pulau sumatera, aku berharap semoga sahabat senantiasa sehat dan selalu bergembira menjalani kehidupan yang fana ini,...................

Saatnya ku pulang kekampung dengan menggunakan sepeda motor dan menempuh waktu 10 Jam. Yakni pada puasa ke 14, setelah makan sahur aku berangkat dari rumah menembus pagi yang dingin dan menapaki jalan raya yang lengang. Dengan segenap kepasrahan padaNya aku mantap untuk pulang kampung dengan menggunakan sepeda motor. Udara yang dingin karena berada di pegunungan sering membuat gak nyaman berkendara, akan tetapi aku menyadari bahwa sekali kali jangan pernah larut dengan perasaan disaat sedang berada dijalan raya karena bisa menyebabkan kanker, impotensi dan gangguan kehamilan pada janin, hahahaa... serius amat sih. Tapi memang betul loh nasehat tersebut karena jika menuruti rasa dingin itu maka perjalanan akan terhambat dan tentu saja ada bahaya lain yang mengintai.
Kawasan LhokNga, Pintu keluar dari Banda Aceh
Jalanan yang mulus tapi menyimpan bahaya juga kalau lena

Nah, ini nih yang wajib diwaspadai dijalan nan mulus.

Sahabat, pada dasarnya aku memang lebih suka menaiki sepeda motor disaat pulang kampung karena jika capek dan penat, sewaktu waktu bisa saja beristirahat ditempat yang berpanorama indah seperti di kawasan gunung guretee yang berada di Kabupaten Aceh Jaya. Gunung guretee biasa disebut kawasan puncak oleh anak - anak muda karena diatasnya memang sudah di setting untuk memanjakan pengunjung dengan adanya cafe - cafe yang menyediakan aneka penganan dan minuman sehingga para pengunjung pun akan betah lama - lama berada dipuncak sambil menikmati pemandangan laut yang eksotis. Sudah ku upload foto - foto panorama dikawasan puncak Guretee itu agar kita semua bisa menikmatinya dan mana tau ada yang berminat untuk main - main disana. Puncak Guretee berjarak 2 jam dari kota banda aceh jika rata - rata perjalanan 80 - 90 KM/Jam nya.
Anda memasuki kawasan Puncak Guretee

Salah satu pemandangan yang bisa kita saksikan
Indah kan ?

Setelah beberapa saat beristirahat di puncak guretee, karena sedang dibulan puasa sehingga cafe - cafe dipuncak gak ada yang buka so... jangan nuduh aku minum aer ya.... hahaha/ perjalananpun kembali dilanjutkan. Suara motorku kembali menderu - deru menaiki jalanan yang berbukit - bukit, berkelok - kelok menyimpan misteri akhirnya dalam 3 jam aku sampai ke Teunom, yakni pintu masuk ke kota Meulaboh kabupaten Aceh Barat. Disini aku berhenti sebentar karena mau pipis... Segera ku masuk ke kamar kecil yang tersedia di sebuah mesjid. Taklama berselang kembali kulanjutkan perjalanan menuju kota meulaboh. Aku sengaja memacu kencang motorku supaya bisa sampai ke meulaboh jam 12 siang. Syukurlah tanpa kesulitan aku berhasil masuk ke Meulaboh sekitar pukul 12.30 Wib.

Gunung yang dibelah untuk bisa dilewati, menghemat waktu 1 jam

sesaat melepas lelah sambil liat panorama pagi

Kembali melintasi jalan diantara gunung yang dibelah


Menuruni gunung Tran yang memakan waktu 1 jam

Selamat datang di Kota Meulaboh
Ngisi bensin dulu ya

Total sudah 6 jam ku berkendara, dan setelah ngisi bensin di sebuah SPBU perjalanan pulang kembali kulanjutkan. Targetnya sih jam 5 sore sudah berada di kampung agar bisa berkumpul2 bareng  ama keluarga. 
                     Jembatan Kuala Bubon

      Kisah Jambo Persinggahan        Wapres Hatta di Aceh Selatan

 

Jambo Hatta, sebuah gubuk berbentuk anjungan di atas bukit. Inilah kisah gubuk bersejarah ketika Wakil Presiden Pertama Indonesia, Muhammad Hatta, datang ke Aceh Selatan
___________________________________
“Keuno hai rakan tapiyôh siat
Taduek meusapat bak jambô hatta
Nyoe kön hukôm nyoe kön adat
Mungkén tabi’at jeut keu biasa”
Begitulah penggalan bait lagu berjudul ‘Aceh Selatan’ yang diyanyikan Syeh Lutan. Lagu yang sempat tenar dan dikenal luas oleh masyarakat Aceh ini secara umum mengisahkan keindahan dan keunikan Aceh Selatan. Salah satunya adalah jambo hatta.
Jambo hatta adalah sebuah gubuk kecil di atas bukit. Letaknya sekitar 8 kilometer dari Tapaktuan, ibukota Aceh Selatan. Disebut jambo karena bentuknya berupa gubuk. Kendati letaknya di atas bukit, jambo itu tetap dibangun menyerupai rumah panggung. Ada sejumlah anak tangga yang harus dinaiki untuk masuk jambo tersebut. Coraknya yang mirip anjungan inilah yang membuat orang-orang menyebutnya gubuk.
Bagian atap jambo membentuk sudut umumnya rumah di Aceh. Sekelilingnya, mulai dari tulang-tulang penyangga atap sampai jerjak-jerjak dinding yang dibuat sepinggang ada ukiran khas bangunan Aceh.
Secara keseluruhan, gubuk itu terbuat dari kayu. Beberapa bagian tampak sudah terkopek, seiring usianya yang kian menua.
Bagaimana dengan kata “Hatta” sesudahnya? Kalimat di sebuah prasasti  yang ditulis dengan huruf kapital di bagian bawah gubuk itu bisa menjadi jawaban.
Begini kalimatnya:  DI TEMPAT INI, PROKLAMATOR/WAKIL PRESIDEN RI, DRS MOHAMMAD HATTA, BERISTIRAHAT DALAM PERJALANAN KELILING ACEH DI TAHUN 1953, UNTUK MEMPERERAT PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA.
Jambo itu memang menjadi saksi sejarah ketika Mohammad Hatta berkunjung ke Aceh Selatan di masa awal-awal Indonesia merdeka.
Menariknya, kedatangan proklamator RI itu ke Aceh langsung menuju Aceh Selatan, tanpa melalui ibukota Provinsi. Di bukit antara dua gampông tersebutlah Hatta beserta rombongan singgah pertama sekali. Di bukit itu kemudian didirikan sebuah gubuk yang dikenal dengan “Jambo Hatta” yang sebelumnya disebut-sebut dengan “Panorama Hatta”.
Jambo Hatta diapit oleh dua gampông: Panjupian dan Lhok Reukam, Kecamatan Tapaktuan. Secara teritorial, Jambo Hatta masuk ke dalam wilayah Gampông Lhokreukam. Gampông ini pun menyimpan keunikan tersendiri. Dulunya di gampông itu terkenal “ketibang” atau kelapa tiga cabang.
“Dulu memang ada kelapa yang cabangnya tiga di Gampông Lhok Reukam, sekarang tidak tahu kemana. Mungkin sudah tumbang,” kata Yuli Candra, warga Tapaktuan, sepekan sebelum Ramadan lalu.
Menurut Candra, Lhok Reukam adalah gampông yang menyimpan panorama sangat indah. Gampông itu terletak persis di tepi pantai dan di atasnya ada bukit. Pada bagian bukit tersebut ada jalan nasional.
“Lhok Reukam itu kampung nelayan. Persis di bibir laut. Makanya kalau kita duduk-duduk di Jambo Hatta lalu memandang ke Lhok Reukam, kita akan melihat alam yang sangat cantik,” tutur Candra.
Memang, dari lokasi Hambo Hatta, jika memandang ke arah Lhok Reukam, akan terlihat laut yang luas membentang, mulai dari tengah sampai pecahan buih di bibir pantai. Beberapa perahu kecil milik nelayan menambah keindahan tersendiri gampông tersebut. Ditambah lagi dengan barisan nyiur yang condong ke arah laut. Daunnya tampak rapi dan hijau ranum.
Itu baru satu panorama yang dapat dinikmati dari Jambo Hatta. Kalau kita melihat ke arah berlawanan, tampak pula jalanan berbelok-belok di bukit Panjupian. Tatkala ada mobil yang melintas di atas jalan tersebut, pemandangan sekilas seperti dalam lukisan. Hijaunya pepohonan rimbun, sedangkan pada bagian bawah ada birunya laut, ditambah keberadaan mobil yang melaju, serasa benar asrinya.
Tidak salah jika dalam lagu Syeh Lotan disentil tentang keindahan laut Hindia di Aceh Selatan. Karena itu pula, banyak orang yang melintas di sana, berhenti sejenak di Jambo Hatta. Kadang mereka melepas penat sambil menikmati keindahan alam. Apalagi, saat ini di lokasi jambo sudah ada kedai kecil yang menjajakan minuman dan penganan ringan.
“Mungkin karena keindahan itu, Mohammad Hatta singgah di sana. Tujuan Hatta sebenarnya ke Kluet, mau melihat  potensi emas Aceh Selatan,” tutur Darul Qudni, penulis legenda Tapaktuan sepekan lalu.
Menurut wartawan senior ini, Hatta sudah lama tahu di Aceh Selatan banyak kandungan emas. “Makanya saat ke Aceh, tujuan Hatta langsung ke Aceh Selatan. Sesudah istirahat di bukit itu, rombongannya menuju Kluet Utara. Di Ruak, mereka makan bersama warga dengan menyembelih 40 ekor kerbau,” .
                     puncak hatta
Pantai pasie raja
    Alur buluh krueng baru
 Jalan tapak tuan-blang pidie
 Jalan tapak tuan - kota fajar
      pantai tapak tuan
              Kota tapak tuan


                 Pantai Ie dingen
                 Pantai Ie dingen
             Kluet utara
            Kluet utara
               Kluet utara
                 Lhok kluet
 Mesjid simpang 4 Kluet utara
             Lhok kluet
          Kolam kluet selatan
Bakongan timur
   Bakongan timur
   Bakongan timur
      Pasie meukek
 puncak alue kliet
Ujoeng Sawang Dua
       Kluet selatan
    Suak bakongan
              Krueng baru
            Mercury labuh haji


        Krueng baru
      Krueng baru
                            Jalan Geurutee
                            Jalan Leupung






























                                 Laut Geurutee

                            Jalan Kaki Geurutee



                       Jembatan Kuala Bubon
                     Jembatan Kuala Bubon
                       Jembatan Kuala Bubon




                        Jembatan Kuala Bubon
                             Puncak Geurutee
                                 Jalan Lamno
                        Jembatan Kuala Bubon



                             Pelabuhan Calang



Lageun, Pantai di Pinggir Jalan


lageuen-8Pantai Lageun ini berada di pinggir jalan yang menghubungkan Meulaboh-Calang-Banda Aceh. Jalan beraspal mulus dan lebar ini dibangun berkat bantuan rakyat Amerika pasca tsunami tahun 2004 silam yang selain  mempermudah kembali arus transportasi antar kabupaten di pesisir barat juga mengekspos kecantikan Lageun di kabupaten Aceh Jaya.
Untuk mencapai pantai ini dapat ditempuh dengan sepeda motor atau mobil kurang lebih 2 jam dari kota Banda Aceh atau 1,5 jam dari kota Meulaboh. Tidak ada yang berjualan di areal pantai dan sangat sepi jika didatangi pada hari selain akhir minggu.
Aku lebih senang berada di pantai ini ketika sepi, menikmati tiupan angin sepoi sambil membenamkan kaki ke dalam pasir kasar berwarna kemerahan dan membiarkannya menggelitik telapak kaki. Kerisik daun jarum cemara laut berkaloborasi dengan deburan ombak membuatku sejenak lupa pada teriknya matahari yang membakar. Ah, enaknya kalau pantai ini punya sendiri.
lageuen-7

  Dari Ikan Panggang Segar Hingga Adat                                       ‘Seumeuleung’

Bila Anda melintasi jalur pantai barat dari Banda Aceh-Calang, hingga Meulaboh, Aceh Barat, mungkin perjalanan akan terasa jauh lebih nyaman daripada melintasi jalan dari jurusan pantai timur (Banda Aceh-Medan) sekarang ini. Karena melintasi jalan pantai barat sekarang, terutama Banda Aceh-Calang, sudah cukup bagus dan luas, bahkan termasuk jalan kualitas terbaik di Sumatera saat ini.
Jalan yang baru saja rampung dibangun atas biaya bantuan masyarakat Amerika Serikat (USAID) ini, dikerjakan oleh kontraktor Samyong asal Korea Selatan. Pembangunannya menelan dana sekitar 282 juta dolar AS atau Rp2,2 triliun. Jalan sepanjang 150 kilometer dengan 27 jembatan ini adalah jalan berkualitas internasional.
Jalan ini baru saja diresmikan Dubes AS untuk Indonesia, Scott Marciel. Bila sebelumnya—terutama setelah tsunami 2004—jarak tempuh Banda Aceh-Calang, Kabupaten Aceh Jaya, bisa memakan waktu 5-6 jam dan harus menggunakan dua buah rakit penyeberang, yang terkadang harus antre berjam-jam, sekarang sudah dapat ditempuh hanya dua jam dengan jalan yang sangat lebar, dan bebas rakit.

Ikan segar

Menariknya, bila kita melintasi pantai barat dari Banda Aceh hingga Meulaboh sepanjang 245 km, sepanjang perjalanan akan bisa menikmati keindahan panorama alam nan mempesona. Sejak dari Lhoknga, Aceh Besar, sudah kelihatan akan indahnya perpaduan alam antara Samudera Hindia yang penuh pulau-pulau kecil sangat menawan.
Setelah melewati Lhoknga akan dijumpai pantai Lhokseudu, di lintas Banda Aceh-Calang. Pantai ini ramai dikunjungi orang, terutama saat sore dan hari-hari libur. Pengunjung, di samping dapat menikmati keindahan pantai, juga dapat membeli ikan segar langsung dari nelayan. Ikan-ikan segar itu juga bisa dinikmati langsung melalui jasa warung-warung di pinggir pantai.
Melintasi jalan Banda Aceh-Meulaboh, sepanjang perjalanan memang harus menelusuri pantai. Pada waktu terjadi tsunami, hampir semua jalan dan jembatan di lintas ini hancur. Sehingga, transportasi darat Banda Aceh-Meulaboh beberapa tahun setelah tsunami harus melalui kota Beureunuen, Tangse dan Geumpang, Kabupaten Pidie.
Ruas jalan baru ini juga jauh dari bibir pantai. Tapi hampir rata-rata badan jalan sekarang sudah ditinggikan dengan ditimbun. Bahkan, banyak tikungan telah diluruskan dengan membelah bukit-bukit. Karenanya, pemakai jalan lintas pantai barat Aceh sekarang dengan leluasa menikmati keindahan pemandangan alam dan lautan.

Nikmati durian

Untuk menempuh perjalanan Banda Aceh–Meulaboh, kita akan melalui tiga gunung tinggi dengan jalan berbelok-belok. Di kiri-kanan jalan rindang dengan pepohonan yang menyejukkan. Tiga gunung yang harus dilalui yaitu Gunung Geurutee, Paroe, dan Kulu. Di Gunung Kulu ini banyak terdapat pohon durian.
Bila musimnya tiba durian itu banyak yang menjual di pinggir jalan dengan jambo (dangau) kecil yang sengaja dibuat oleh penjual durian. Sehingga bila kita telah penat dalam perjalanan dapat istirahat di jambo-jambo itu sambil menikmati durian. Memang tidak hanya di Gunung Kulu, di sepanjang jalan dari Leupung, Aceh Basar, sampai ke Lamno, Aceh Jaya, bila musim durian tiba banyak penjual durian di pinggir jalan.
Naik turun Gunung Paroe, Kulu dan Geurutee, kita bisa menikmati pemandangan alam sangat indah. Apalagi saat tiba di puncak Gunung Geurutee. Melihat ke bawah, kita akan menyaksikan pulau-pulau kecil terdapat di Ujung Seudeun, sebuah perkampungan di pinggir laut.
Konon, di Ujung Seudeun ini dulu pernah terdampar kapal Portugis. Sejarah terdamparnya kapal Portugis ini mungkin ada hubungannya dengan sejarah komunitas keturunan “mata biru” (keturuan Portugis) yang masih terdapat di Lamno Daya, yang terkenal dengan gadis-gadis bermata biru sekarang ini.
Bila kita kebetulan melintasi jalan ini di ambang sore, terlebih saat matahari akan terbenam, akan terlihat keindahan luar biasa. Warna kemerahan langit di ambang senja menyinari air laut biru hingga menimbulkan pemandangan mengagumkan.

Budaya Seumeuleung

Dulu, di puncak Gunung Geurutee ada sebuah bangunan tempat istirahat yang dibangun Belanda. Bangunan ini terletak agak sedikit mendaki dan harus menaiki beberapa anak tangga dari batu. Bangunan itu tampaknya telah rusak ditelan masa. Di tempat yang sama, kini sudah dibangun bangunan lain.
Selain itu, di pinggir jalan di atas puncak Geurutee sekarang juga telah dibangun warung-warung kecil yang banyak disinggahi pengguna jalan, yang selalu mampir untuk istirahat dan menikmati keindahan panorama Samudra Hindia dari puncak gunung.
Ketika turun dari Gunung Geurutee inilah kita dapati kampung Ujung Seudeun tempat terdamparnya kapal Portugis di masa silam.
Kuala Daya Lamno, sekitar 80 kilometer dari Banda Aceh, dulu merupakan kerajaan yang maju di wilayah pantai barat Aceh, Kerajaan Daya ketika itu diperintah raja bernama Meureuhom Daya, lebih dikenal dengan Poteumeurehom.
Sampai sekarang di Kuala Daya, setahun sekali selalu diadakan upacara ritual yang disebut Seumeuleung. Upacara adat ini diadakan setiap tahun pada bulan Zulhijjah, tepatnya 10-13 Zulhijjah.
Upacara Seumeuleung ini sebuah perayaan adat turun-temurun yang dilaksanakan keturunan Poteumeurehom (almarhum Yang Mulia) Sultan Alaidin Riayatsyah, penguasa negeri Daya (1482-1508). Upacara ritual adat Seumeulueng ini dihadiri ribuan masyarakat setempat serta pengunjung dari kabupaten lain. Tradisi perayaan adat ini diadakan di kaki bukit Kandang, yaitu di bawah kompleks pemakaman raja yang pernah memerintah di negeri Daya Lamno pada abad-abad silam.
Setiap tahun pada bulan Zulhijjah, upacara ritual ini selalu disuguhkan dengan tatacara yang telah menjadi adat budaya setempat, yang mendapat perhatian dan sambutan meriah masyarakat. Dalam upacara ini, salah seorang keturunan raja Meureuhom Daya berperan sebagai sultan, yang lainnya sebagai panglima, khadam, wazir muluk, dan khatibulmuluk, dengan pendamping seorang petua kawai dalam dan seorang imeum chik (pimpinan agama).
Mereka semua memakai pakaian kebesaran dengan atribut lengkap menurut fungsi masing-masing seperti yang pernah berlaku pada masa pemerintahan Poteumeureuhom.
Setelah mengikuti pesta adat Seumeuleung di Lamno Daya, bila kita meneruskan perjalanan ke Calang atau ke Meulaboh, sebelum memasuki Calang, ada satu wilayah bernama Patek. Di tempat ini terdapat beberapa warung makanan yang terkenal dengan ikan panggangnya. Berbagai jenis ikan segar yang baru didapat dari laut dapat dipesan di warung-warung yang ada di sini. Di samping ikan panggang juga dapat dipesan lauk khas daerah lainnya, seperti kerang tumis dan gulai ikan lainnya.
Menikmati makanan yang ada di warung-warung di Patek ini sistem hidangannya melayani sendiri (prasmanan). Harganya pun terjangkau oleh semua pengunjung. Sambil menikmati hidangan di warung-warung, kita juga dapat menikmati keindahan panorama laut dan gunung-gunung kecil, karena Patek terletak di tepi pantai nan indah.

        Tunjuki Kami Jalan Pulang (pasca tsunami)


SUDAH fitrahnya menyongsong bulan Ramadan dan hari raya, banyak orang mudik. Mereka butuh jalan untuk pulang ke kampung masing-masing. Tentunya jalan yang aman dan nyaman dilalui, baik perjalanan siang maupun malam.
Alangkah miris hati saya membaca berita di sejumlah media, jalan lintas Geumpang-Meulaboh mulai ada perampokan. Satu keluarga dirampok saat melintas jalan tersebut. Para korban diminta terjun ke jurang.
Ini adalah berita menarik sejak dibukanya jalan Geumpang menuju Meubaloh, pascatsunami lalu. Karena itu, saya terus menunggu-nunggu kelanjutan berita yang dimuat di halaman depan oleh media ini. Sayangnya, entah wartawan sengaja tidak mem-follow-up beritanya atau memang polisi tidak mau berkomentar tentang itu karena perampoknya bawa senjata, sampai sekarang soal perampokan dan jaminan kenyaman jalan lintas Geumpang belum ada.
Jalur Calang
Jalan lain menuju belahan Bumi Teuku Umar dan Bumi Teuku Cut Ali adalah jalur Calang, Aceh Jaya. Jalan ini, sebelumnya penuh rakit sehingga barangsiapa yang hendak bepergian semisal Banda Aceh-Meulaboh dan sebaliknya, harus menaiki banyak rakit. Akan tetapi, lintasan tersebut menjadi lebih baik masa pemerintahan Prof. Ibrahim Hasan, MBA. menjabat sebagai gubernur. Semua rakit ‘disulap’ menjadi jembatan. Nyamanlah pengguna jalan.
Seperti diketahui, musibah mahadahsyat gempa disusul tsunami akhir 2004 lalu telah meluluhlantakkan sebagian wilayah Aceh. Terparah pesisir barat. Jalan lintasan Banda Aceh-Calang menjadi ‘laut’ seketika. Hal ini membuat mata dunia terpaku pada Aceh. Bantuan mengalir, termasuk untuk pembangunan jalan lintasan Calang tersebut.
Tentu saja dana untuk membangun jalan itu tidak sedikit. Akan tetapi, lihainya pembangunan masa Badan Rehabilitasi Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias meyakinkan masyarakat bahwa pembangunan jalan itu tuntas pada 2010. Bahkan, menjelang berakhir tugas BRR, media sering memberitakan komitmen para penguasa, baik BRR maupun pemerintah, bahwa pembangunan jalan itu tuntas dan dapat dinikmati oleh masyarakat sebelum BRR ‘hengkang’ dari Aceh. Buktinya?
Ditinggal pergi oleh BRR, kendali rehabilitasi dan rekonstruksi dipegang Pemerintah Aceh. Sejak itu, jalan lintas Calang dapat dikatakan tidak tersentuh sama sekali. Bahkan, Pemerintah Aceh malah sibuk dengan urusan tetek bengek seperti penjualan besi jembatan dan penjualan hutan. Semua tahu bahwa para pejabat itu dapat menggunakan pesawat udara ke mana mereka mau pergi, termasuk ke pesisir barat-selatan yang paling terpencil. Namun, bagi masyarakat kecil, pedagang, dan mahasiswa, jalan darat dianggap paling efektif dan sesuai ‘kantong’. Alangkah malang nasib rakyat kecil terlebih lagi mahasiswa yang kuliah di Banda Aceh. Setahun sekali hendak mencium lutut orantuanya atau untuk melihat kubur orangtua mereka di kampung, tapi mereka tidak tahu harus pulang jalan mana. Lewat Calang hancur-hancuran, lewat Geumpang ada perampokan.
Tahun lalu, saya sendiri sempat melihat dan mengalami langsung macet di lumpur Calang hingga hampir dua jam. Mobil-mobil tak tentu arah lagi. Ada yang dari Banda Aceh, tapi kepala mobil malah sudah berbalik ke Banda Aceh lagi, demikian juga yang dari wilayah barat-selatan. Lumpur lebih tinggi daripada ban mobil L-300, kala itu.
Baru-baru ini saya kembali melewati lintasan tersebut. Karena cuaca sedang bagus (cerah), pengguna jalan jadi makan debu. Demikian juga dengan masyarakat kawasan tersebut. Dapat dibayangkan doa dan kutukan mereka untuk para pemimpin negeri ini saban hari oleh sebab musim hujan mereka ‘mandi lumpur’ dan musim panas ‘makan debu’. Saya khawatir, karena doa itu sudah dilisankan setiap hari oleh banyak orang bahkan orang teraniaya pula, suatu saat azab Tuhan benar-benar mengenai para pemimpin tanah ini, tidak terkecuali anggota dewan yang katanya pembawa aspirasi rakyat. Semoga tidak ada yang mengamini kalimat ini.
Betapa ketakutan akan jalan itu tidak dibangun semakin nyata dengan pemberitaan Serambi (Senin, 23 Agustus) kemarin. Pembangunan ruas jalan di Aceh dengan sistem multiyears berakhir, demikian kata berita. Sehari sebelumnya diberitakan pula bahwa Pemerintah Aceh sedang menggalakkan hubungan bilateral untuk pembangunan jalan lintas timur, Banda Aceh-Medan.
Semakin mafhum saya bahwa pembangunan jalan lintas Calang itu sengaja diperlambat-jika tak mau disebut memang tidak diopen-agar dapat dikapling-kapling sebagai proyek tahunan. Anehnya, anggota dewan diam saat pemerintah berdalih. Lembaga yang dianggap sebagai kontrol pemerintah ternyata malah dikontrol oleh pemerintah.
Pembangunan jalan lintas Banda Aceh-Meulaboh memang sudah dibangun, tetapi hanya sampai kawasan Aceh Besar. Sejak selesai jalan di kawasan Aceh Besar itu, tidak ada lagi kelanjutan pembangunan jalan ke arah sana. Lagi-lagi untuk wilayah peisir barat, mulai Lamno, Aceh Jaya, sampai ke Aceh Selatan, mungkin juga Singkil, jadi marginalisasi pemerintah periode kini.
‘Peng-anaktiri-an’ barat-selatan semakin nyata dengan sudah selesainya pembangunan jalan lintas Gunung Seulawah dan beberapa ruas lainnya di wilayah timur padahal pembangunan jalan wilayah Calang lebih dahulu dikerjakan. Bukan berarti saya tidak menyetujui pembangunan jalan lintasan timur/utara Aceh. Saya sangat sepakat. Akan tetapi, berlaku adillah, karena adil mendekatkan diri pada taqwa (firman Allah swt.) dan menjauhkan diri dari sumpah serapah rakyat jelata.
Kejanggalan atas nama pembangunan jalan kian menyesakkan dada. Belum tuntas di wilayah Calang, kini sudah dibangun pula jalan tembus Aceh Barat melalui Pidie. Jalan lintas tersebut berujung di Gunung Aneuk Manyak, sudah selesai diaspal hotmix sekitar 15 kilometer. Bukankah ini lucu, karena jalan lintas Geumpang masih dapat digunakan. Memang jalan Geumpang itu pangkalnya ada di Beureunuen, Pidie Jaya. Namun, Pidie Jaya dan Pidie itu masih ‘sejengkal’. Hemat saya, lebih baik pembangunan jalan lintas Beureunuen-Gempang-Meulaboh yang diperbaiki, bukan malah menebang hutan untuk membuka jalan lain, yang masih tumpang tindih ujungnya dengan jalan dari Beureunuen.
Tunjukkan kami jalan pulang yang sebenarnya untuk wilayah barat-selatan. Hanya ini yang dapat diungkapkan oleh masyarakat, karena doa belum jadi kata. Padahal, jika gubernur dan wakilnya sekarang mau menyelesaikan pembangunan jalan Calang tahun ini, modal kampanye untuk Pilkada ke depan sudah ada. Bukankah kearifan indatu mengajarkan rakyat Aceh untuk selalu ingat kepada yang berjasa? Ibaratnya, “Tajak u pasie tatarek pukat, ladom bak lamat, ladom bak punca. Putéh tuleueng lon di dalam jeurat, mantong teuingat keu guna gata.”

20110528-IMGP4001
Ya, tampak seolah di ujung jalan ini terhampar birunya samudera yang berpayung langit biru. Jalan lebar yang membelah bukit ini ada di Aceh. Hancur oleh terjangan tsunami delapan tahun lalu membuat jalan raya Banda Aceh – Calang (Aceh Jaya) ini dibangun dengan sangat serius dan berkualitas menggunakan dana dari Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID. Berkesempatan berkunjung ke Aceh? Susuri jalan pantai barat Aceh ini dan nikmati pemandangan membelah bukit batu karst, perbukitan hijau di sebelah kiri, serta pantai berpasir putih dan warna biru laut di sebelah kanan. Saya jamin, siapa saja akan terpukau.
Hari Pertama Setelah barang barang perlengkapan dan semuanya di ambil kami pun keluar bandara. akhirnya sampai di negeri serambi mekkah yaitu aceh, Sebuah kota yang berada jauuh di ujung barat pulau Indonesia dan memiliki keunikan wilayah yang sangat terakulturasi.
kami pun keluar menuju bandara sultan iskandar muda, kami melihat bentuk dari atap bandara yang cukup unik seperti simbol topi yang di pakai oleh Teuku Umar atau Cut Nyak Dien

Setelah mencicipi makanan kami ditunggu oleh beberapa orang dari anggota tim survey di aceh. kami di ajak dulu jalan jalan di sekitar kota aceh, sunggu pemandangan yang indah, disana terdapat Museum aceh. didirikan sebagai sarana untuk pusat informasi mengenai bencana alam Tsunami dan didirikan sejak bencana alam tsunami telah memporak porandakan daerah Aceh pada tahun 2004. Segala informasi mengenai tsunami besrta lembaga-lembaga donor yang telah membantu korban tsunami di Aceh akan tersedia di Museum Tsunami, bahkan nama-nama korban tsunami akan ditulis pada ddsatu dinding dibangunan
((di ambil dari sebuah majalah tentang aceh )
Setelah kami melewati museum aceh kami juga sempat mampir di terminal aceh, saya lansung ketawa melihat angkot di sekitar terminal, orangnya menyebut labi labi Menurut sejumlah sopir di Terminal Keudah Banda Aceh, ancaman kelangsungan operasional labi-labi di Banda Aceh disebabkan banyaknya kendaraan sepeda motor yang dimiliki masyarakat saat ini. Sehingga banyak yang tidak lagi memanfaatkan jasa angkutan umum itu.
Setelah hampir beberapa jam kami keliling akhirnya kami beranjak menuju Calang, Aceh jaya. Hampir selama perjalanan kami melihat laut, jalan yang berkelok dan sangat sepi membuat mobil melaju dengan kencang nya. Disana kami di temani beberapa orang aceh, diantara nya ada teman dr teman ku yang dulu sama-sama kuliah di jatinangor, Namanya bang angga, dia bekerja di Kantor Gubernur banda aceh. dia sangat baik sekali sampai-sampai nemanin kami (saya dan johan) ke calang. Untung kami di bantu sama bang angga, karena untuk masuk daerah baru kami harus izin dan silaturahmi dahulu, yang paling mengagumkan adalah saya bertemu dengan salah satu yang dulunya sebagai anggota GAM, sungguh hal hal yang paling tidak pernah terfikirkan sebelumnya. Dulu waktu masih kuliah saya pernah berfikir kalau orang GAM itu mengerikan, ternyata itu ngk sama sekali, Mereka sangat baik, sangat ramah, Sangat melindungi kami untuk yang pertama kali kesana, Pokoknya Orang Aceh itu sangat baik,
Jalan Ini merupakan jalan yang baru di bangun setelah stunami tahun 2004, ini merupakan kerja sama dari beberapa instansi pemerintahan, Jalan yang sangat sepi, klo di bandung saya menyebutnya jalan Tol, bahkan beberapa hewan Piaraan ternak seperti sapi, domba dsb nya bebas untuk melintasi jalanan, Sungguh hal yang membuat saya ketawa, karena pas kita lewatin , si sapinya ngk mau ngasih jalan,,hahahah :) :)
Perjalanan dari banda menuju Calang ditempuh dalam 3 jam, kami melewati semen andalas yang berda di pinggir pantai, kata bang angga,  operasi dari pabrik semen padang sempat terhenti gara gara stunamitidak terasa jam menunjukan jam 22.20 wib, perut uit uit mau makan, apadaya kita masih belum nyampe juga, dan dilihat kiri kanan hanya terlihat pohon pohon dan perbukitan. Sempat mampir untuk menjemput beberap kru Dari GAM supaya kita mendapat izin dlu untuk survey Emas Di calang.
Akhirnya jam 12 saya nyampai di Calang, Saya Lansung ke penginapan karena capek nya minta ampuyuuunnnn. Kita menginap Di Hotel Pantai Barat (berasa di Luar negri aj), penginapan kita dekat sekali dengan Pantai, Aduuhhh hay,
inilah tempat menginap kami selama hampir seminggu lebih, banyak suka dan duka nya kami lewati, banyak cerita dan indahnya lingkungan calang, ini merupakan cerita hari pertama berada di calang, mari kita lanjutkan cerita hari hari beriktnya di calang,,,


Peuniyoh Puncak Geurutee Butuh Penataan


Peuniyoh Puncak Geurutee Butuh Penataan

melihat bekas lokasi peuniyoh yang kondisinya tak terawat di puncak Gunung Geurutee, Kecamatan Jaya (Lamno), Aceh Jaya
CALANG – Tempat singgahan (Aceh: peuniyoh) yang terdapat di puncak Gunung Geurutee, kawasan Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya, sudah hancur terbakar beberapa tahun silam. Warga setempat berharap kepada pemerintah daerah menata dan membangun kembali lokasi peuniyoh itu. 

“Peuniyoh yang berbentuk seperti rumah Aceh tersebut hancur terbakar pada masa konflik dulu,”  kata Ipen Ld anggota Pemuda Lamno Daya (PLD), Aceh Jaya kepada Serambi, Minggu (6/1).

Ipen mengatakan, Peuniyoh yang terdapat di puncak Geurutee itu dapat dijadikan sebagai objek wisata. Di sekitar lokasi tersebut memiliki pemandangan yang sangat menakjubkan bagi siapa saja yang singgah di situ. Untuk menuju ke lokasi para pengunjung harus jalan kali dengan menaiki tangga sekitar 50 meter dari badan jalan lintas Banda Aceh-Calang tepatnya di depan lokasi Warkop.

Ia menambahkan, sebelumnya di lokasi Peuniyoh tersebut, memiliki semua fasilitas, seperti WC, kamar mandi, dan bak penampungan air. Namun saat ini hanya tinggal lantainya saja, sehingga pihaknya dan warga berharap kepada pemerintah Aceh Jaya khususnya dinas terkait agar memperbaiki dan menata kembali seperti sediakala. 

“Sehingga loksi tersebut benar-benar akan menjadi sebuah lokasi wisata yang sangat menarik dengan pemandangan laut dan pengungan yang sangat mempesona,”

Add caption










Tidak ada komentar:

Posting Komentar